Jakarta, Indonesia: Teror Radikalisme

0
290

TEROR RADIKALISME

Oleh Okty Budiati

Satir, mungkin itulah responku terhadap nasib pendidikan sebagai hak kreativitas atas hak hidup individu di negara ini (Indonesia). Kegelisahan kaum neo-liberal penganut kapitalisme yang bersistem pendidikan birokrasi telah memiliki kekuasaan atas hak hidup dengan peluang kebijakannya berupa; “BNPT dan BIN Masuk Kampus” (baca: https://news.detik.com/berita/d-4083115/kala-intelijen-dipersilakan-masuk-kampus).

Apa yang tidak pernah dimikili individu dalam ruang sosial adalah hak untuk berpikir serta berkreativitas dengan menempatkan teks-teks literasi yang bersifat bergerak, dan subjektif sebagai wujud moralitas yang absolut”.

Sangatlah sederhana, jika akhirnya aku bertanya; apakah setiap anak manusia yang terlahir di bumi adalah bencana, karena mereka menciptakan inovasi yang menopang keberlangsungan hidup manusia dengan komitmennya adalah radikal. Jika demikian, dan ini dianggap sebagai satu makna teror, maka, manusia adalah satu-satunya kesalahan yang telah dihadirkan di bumi. Kunci dari keyakinan spiritualitas terdetak pada komitmen yang tentunya radikal, dan menjadi teror bagi individu lain, karena setiap individu adalah mahluk yang memiliki anatomi perjalanan hidup berbeda, dan bagiku, ini manjadi cara sederhana dalam memahami dua kosa kata tersebut, antara radikalisme, dan terorisme.

Pada masalah terorisme modern dengan beragam analitis metodologi, pendefinisiannya menjadi sempit, bahwa terorisme sebagai kekerasan aktor non-negara menargetkan struktur negara yang kuat. Namun, kemunculan itu ketika perang partai dalam manifestasinya di perkotaan. Sehingga terorisme sendiri muncul sebagai simbol kekerasan yang diarahkan pada publik, dan media. Ini adalah bentuk baru dari kekerasan politik, dan menjadi global” [Friedrich Lenger].

Di mana pada titik inilah, sebenarnya menjadi tidak mungkin mendefiniskan kosakata terorisme sesederhana pemikiran kaum berpendidikan ini, sebagai satu gerbang refresi yang tersirat, bahwa krativitas berpikir perlu dikuasai demi moral manusia bernegara, karena sejarah literasi telah mengalami berbagai roda perkembangannya di Eropa, sebagai sikap perlawanan terhadap kekuasaan sistem aristrokasi pada saat itu, yang menjadi aksi langsung (dianggap sebagai wujud radikalisasi) dari ideologi politik. Ada pemikiran, dan ada pergerakan. Namun, apakah mereka melupakan, banyak pemikir radikal yang telah memberikan dampak langsung dalam perkembangan kesehatan atau kedokteran, lantas bagaimana dalam melihat kebijakan ini? Juga, radikal pemikiran mengenai ekonomi produksi dalam industri teknologi? Jika kemunculan ini didiamkan, maka selamanya, slogan pendidikan sebagai hak pencerdasan manusia tidak pernah ada di negara ini, dan dengan kemunculannya di masa panas, masa pemilihan presiden.

Maka, kebijakan “BNPT dan BIN Masuk Kampus” ini harus dibaca sebagai gerbang pembuka bagi pemahaman fasisme, serta rasisme menjadi budaya baru.  Tidak bisa tidak, bahwa apa yang pernah dikatakan oleh Simon Springer dalam FUCK NEOLIBERALISM; “Sementara ini sebuah penyangkalan, protes, dan kritik sangatlah diperlukan, dan kita juga perlu memikirkan secara aktif bagaimana mengacaukan neoliberalisme, yaitu, dengan melakukan hal-hal di luar jangkauannya.”, menjadi representasi sikap perilaku para neo-liberal yang politik kekuasaannya terancam, karena melalui pendidikanlah, politik ideologi kekuasaan dapat dimainkan.

Maka, penolakan secara individu, hingga sekumpulan individu terhadap kemunculan fasisme, serta meningginya ajakan rasisme melalui pendidikan penting dijadikan pertimbangan segera. Kemunculan kebijakan tersebut harus disadari bersama telah membunuh kreativitas manusia dalam berpikir, berinovasi, dan berpolitik sebagai individu, maupun sosial.

~~~

Jakarta 26 Juni 2018